Senin, 15 Juni 2015

Biografi tuanku imam bonjol

Biografi Tuanku Imam Bonjol
Biografi Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), bernama asli Muhammad Shahab atau Petto Syarif, adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973 .

Tuanku Imam Bonjol dilahirkan di Bonjol, Pasaman, Indonesia pada tahun 1772.Beliau kemudiannya meninggal dunia di Manado, Sulawesi pada 6 November 1864 dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di Khusus Lotak, Minahasa

http://3.bp.blogspot.com/-IHLvh4xmvtY/TcqivGtKeRI/AAAAAAAADOk/zDoWu2hHBj0/s1600/IMAM+BONJOL.png

Tuanku Imam Bonjol bukanlah seorang Minahasa. Dia berasal dari Sumatera Barat. "Tuanku Imam Bonjol" adalah sebuah gelaran yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama asli Imam Bonjol adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin.

Dia adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatera, yang pada mulanya menentang perjudian, laga ayam, penyalahggunaan dadah, minuman keras, dan tembakau, tetapi kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belandayang memiliki semboyan Gold, Glory, Gospel sehingga mengakibatkan perang Padri (1821-1837).

Mula-mula ia belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang ulama lainya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pengasas negeri Bonjol.

Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.

Golongan adat yang merasa terancam kedudukanya, mendapat bantuan dari Belanda. Namun gerakan pasukan Imam Bonjol yang cukup tangguh sangat membahayakan kedudukan Belanda. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Perjanjian itu disebut "Perjanjian Masang". Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.

Pertempuran-pertempuran berikutnya tidak banyak bererti, kerena Belanda harus mengumpul kekuatanya terhadap Perang Diponogoro. Tetapi setelah Perang Diponogoro selesai, maka Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menaklukan seluruh Sumatra Barat.

Imam Bonjol dan pasukanya tak mahu menyerah dan dengan gigih membendung kekuatan musuh. Namun Kekuatan Belanda sangat besar, sehingga satu demi satu daerah Imam Bonjol dapat direbut Belanda. Tapi tiga bulan kemudian Bonjol dapat direbut kembali. Ini terjadi pada tahun 1832.

Belanda kembali mengerahkan kekuatan pasukanya yang besar. Tak ketinggalan Gabernor Jeneral Van den Bosch ikut memimpin serangan ke atas Bonjol. Namun ia gagal. Ia mengajak Imam Bonjol berdamai dengan maklumat "Palakat Panjang", Tapi Tuanku Imam curiga.
Untuk waktu-wakyu selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia tak mahukan untuk berdamai dengan Belanda.Tiga kali Belanda mengganti panglima perangnya untuk merebut Bonjol, sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat. Setelah tiga tahun dikepung, barulah Bonjol dapat dikuasai, iaitu pada tanggal 16 Ogos 1837.

Pada tahun 1837, desa Imam Bonjol berjaya diambil alih oleh Belanda, dan Imam Bonjol akhirnya menyerah kalah. Dia kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada akhirnya dibawa ke Minahasa. Dia diakui sebagai pahlawan nasional.

Sebuah bangunan berciri khas Sumatera melindungi makam Imam Bonjol. Sebuah relief menggambarkan Imam Bonjol dalam perang Padri menghiasi salah satu dinding. Di samping bangunan ini adalah rumah asli tempat Imam Bonjol tinggal selama pengasingannya

Riwayat Perjuangan

Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena "diundang" kaum Adat.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Gubernur Jendral Johannes van den Bosch pernah mengajak Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang", karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri . Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).

Dalam MTIB, terefleksi ada rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. Tuanku Imam Bonjol sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. "Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?" (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), ungkap Tuanku Imam Bonjol seperti tertulis dalam MTIB (hal 39).

Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) juga dapat menjadi apresiasinya akan kepahlawanannya menentang penjajahan[3]. — seperti rinci dilaporkan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837.

Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan menyerang pertahanan Paderi.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Demikianlah Perjuangan Tuanku Imam Bonjol , dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Sejarah Perjuangan Tuanku Imam Bonjol dalam Mengadapi Penjajahan Belanda

Setelah berakhirnya perang Diponegoro & pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yg sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau [darek]. Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupaken salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dlm liku-liku perdagangan di pedalaman & pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli. Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yg telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yg merupaken salah satu kawasan yg mampu memproduksi mesiu & senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yg dikenal dengan nama Fort de Kock.
Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dlm kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831-1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yg telah membelot & berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda sesudah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yg ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yg telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot & legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, & Belanda pun juga tak ingin ia tetap berada di Jawa & mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan & ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Sentot Prawirodirdjo, yg diilustrasikan oleh G. Kepper.
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dlm jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dlm kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi & berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda sesudah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak & bertahan di Bonjol. Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yg masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yg mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. Namun dlm pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yg dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz & Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz & Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yg baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan & mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yg diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dlm beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata & pakaian yg melekat di tangan & badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia-Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal & sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan & jembatan yg mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dlm menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yg dekat dengan kubu pertahanannya. Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol & sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yg bergerak masing-masing dari Matur & Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yg saat itu tengah dilanda banjir, & terus masuk menyelusup ke dlm hutan rimba; mendaki gunung & menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya & berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yg masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yg jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yg diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang ialah daerah Padang Lawas yg secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang & membuat kubu pertahanan disana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dlm jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir & meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yg kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban. Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yg dikirim oleh Residen Francis di Padang & pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yg besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan maksud untuk melumpuhkan suplai bahan makanan & senjata pasukan Padri. Blokade yg dilakukan ini ternyata tak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda & bahan perbekalannya yg banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya. Disaat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yg telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau & sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali sesudah bala bantuan tentara yg terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yg berada di Bukit Tajadi, & pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dlm merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yg berada disekitar Bukit Tajadi. Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yg dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dlm Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah & Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit & terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager. Blokade yg berlarut-larut & keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak & menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang & Alahan Mati mengangkat senjata & menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun sesudah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yg berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu & berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan & semangat juang yg tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir & terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Jakarta yg waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yg bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya. Cochius merupaken seorang perwira tinggi Belanda yg memiliki keahlian dlm strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan [16 Maret-17 Agustus 1837] dipimpin oleh jenderal & beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis & Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1. 103 tentara Eropa, 4. 130 tentara pribumi, termasuk didalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen [pasukan pembantu Sumenap alias Madura]. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya ialah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, & seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche [pribumi] seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero & lainnya.
Dari Jakarta didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa & Sepoys, serdadu dari Afrika yg berdinas dlm tentara Belanda, direkrut dari Ghana & Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals & 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe. Serangan yg bergelombang serta bertubi-tubi & hujan peluru dari pasukan artileri yg bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri & kavaleri yg terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, & akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, & pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

Perundingan Tuanku Imam Bonjol

Dalam pelarian & persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yg telah bercerai-berai & lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yg tinggal & masih siap untuk bertempur kembali. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih & gencatan senjata berlaku.
Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 & kemudian Tuanku Imam Bonjol dlm kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, & pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, & di daerah inilah sesudah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.

Penangkapan Tuanku Imam Bonjol

Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, & Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu & ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu [Rokan Hulu], yg waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, & akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Neerlandica & wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.

Sikap Patriotisme Kepahlawanan

Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yg terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini. Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu & dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum & monumen di Bonjol & dinamai dengan Museum & Monumen Tuanku Imam Bonjol. Perjuangan beberapa tokoh dlm Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol & Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar